Berteman dengan Jalan, Bersahabat dengan Malam
Hari
ini saya membuka dan melihat lembaran buku kecil yang tertuliskan setiap mimpi
dan keyakinan penuh terhadap masa depan yang indah. Disana tertulis rapi
tentang apa yang harus saya lakukan, dan apa yang harus saya tinggalkan. Harapan untuk menjadi seseorang yang hebat di
usia muda, hingga usaha untuk lebih dekat dengan sang pencipta tertulis rapih,
bukunya pun saya jaga dengan sepenuh hati, tidak ingin membuatnya tertindih suatu
barang apapun.
Kemudian
saya bercermin melihat wajah ini, memperhatikan kedua mata yang mulai sembab
dan berkantung, warna hitamnya melingkar sempurna, seolah menjadi tanda bahwa
malam telah menjadi teman untuk tetap terjaga dan bercengkrama hingga pagi
datang.
Inikah
jalan yang dipilihkan oleh Tuhan?
Awal yang menyiksa
Masuk
ke jurusan jurnalistik mengharuskan saya untuk mengejar berita setiap hari, berurusan
dengan birokrasi yang membosankan, serta memberi perhatian penuh pada setiap
event yang akan digelar. Kemudian marah-marah dan emosi jika ada kesempatan
yang terlewat begitu saja. Frustasi, sedih, dan rasa sekali-kali ingin menjauh sempat
mampir tanpa permisi. Bosan tentu, di
saat deadline berita mengejar dan harus diselesaikan hari ini juga, namun surat
pengantar izin wawancara saja belum dikirim dan menunggu disposisi.
Belum
lagi keadaan yang tidak memungkinkan untuk pergi meliput. Persoalan jarak dan
lokasi yang tidak terbaca oleh aplikasi secanggih maps, persoalan izin orang
tua, keuangan yang minim, dan hal teknis serupa membuat penyesalan selalu
datang belakangan. Waktu yang tidak dimanfaatkan dengan baik, rasa percaya diri
yang masih kurang, serta ilmu yang masih sebatas biji matahari, membatasi ruang
gerak untuk lebih tumbuh liar dan membakar.
Bayangan
dosen pengampu mata kuliah tersebut sekali-kali pernah menghantui, terbayang
nasib apa yang akan saya dapatkan di kelas.
Suatu kata sadis, menusuk, bahkan mencambuk akar pikiran, seolah membunuh
usaha saya saat mencari berita seperti kuda liar yang berkeliaran di siang hari
yang terik. Dan, semua itu tidak bernilai apa-apa di matanya. Ahh, damn.
Bertemu orang hebat
Untuk
rasa yang tertanam di lubuk hati paling dalam, saya mengakui, saya bahagia.
Saya bahagia dengan jurusan ini, saya rasa mimpi menjadi seorang jurnalis, bahkan
novelis lebih dekat satu langkah di depan mata.
Saya bahagia hanya dengan melakukan wawancara, saya sangat semangat
ketika harus mengikuti pembukaan event olahraga, lalu melihat Zohri sang juara
dunia.
Saya
pernah berada paling depan di antara ratusan orang yang mengeluh-eluhkan Eva
Celia, Vina Panduwinata, dan Ran ketika event Sunset Jaz Senggigi. Di hari itu,
saya pulang jam 1 malam, kemudian makan
nasi bungkus di pinggir jalan simpang lima Ampenan bersama ketiga lelaki hebat
di bidang fotografi yang sudah saya anggap sebagai saudara.
Merasakan
udara malam dengan suara-suara senyap sepanjang jalanan daerah yang sempat
menjadi pelabuhan tersibuk zaman Belanda ini membuat saya selalu takjub. Hingga
kini, saya selalu tersihir dengan pesona sejarahnya. Didiami oleh berbagai
macam suku, dan etnis menandakan sebuah kejayaan pernah ada. Namun saat ini, bukti
kejayaannya perlahan mulai pudar, nanti akan saya ceritakan tersendiri tentang
kekuasaan para pedagang, dan para bandar besar penguasa Ampenan ini.
Karena
dengan semua hal itu saya dapat mengenal banyak hal baru, berteman dengan
jalan, dan bersahabat dengan malam.
Mencoba
Mengerti Pesan Jalan Kepada Malam
Jalan
dan malam kemudian membawa saya mengenal manusia dari segala bidang profesi.
Berteman akrab dengan aktivis lingkungan dan Partai Politik, bertegur sapa
dengan para pejabat, bercerita hingga larut malam dengan seorang Dalang Wayang,
berkawan dengan penjual mutiara, hingga diberi saran seperti anak sendiri oleh
Satpol PP saat berkunjung ke Pantai Kuta, Lombok Tengah, terimakasi pak, saran
mu akan selalu saya ingat.
Setiap
kesempatan wawancara saya gunakan untuk mendapatkan kontak mereka, membangun
relasi kemudian interaksi. Bertemu dengan wartawan TVRI yang awalnya terlihat
sangat formal dan kaku. Tapi, setelah mengenalnya lebih jauh, ia ternyata
seorang penyanyi rock star hebat dengan gaya rebelnya yang 360 derajat sangat
berbeda.
Saya
selalu ingin melihat potret kehidupan di waktu malam. Seperti saat melewati tempat
mangkal para “kupu-kupu malam”. Melihat mereka sepintas, membuat saya yakin
bahwa malam dan jalan memberi tempat bagi mereka untuk menyambung hidup hingga
pagi, walaupun sangat miris melihat pemandangan “manis” itu.
Malam
hari di jalan kota Tua Ampenan juga memberi kisah patah hati. Memorinya indah
namun menyakitkan, mengingat betapa rendahnya pernah menangisi seorang
laki-laki. Malam juga menjadi saksi bagaimana air mata penyesalan akan
perbuatan dosa, dan khilaf menyelimuti diri ini, hingga bantal kemudian basah
karena air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.
Dari
malam yang suram, hingga malam penuh bintang, punya pesannya masing-masing.
Cobalah mengerti, dan nikmati, jangan terus berkata “cepatlah pagi, malam
begitu menyeramkan,” Banyak makhluk hidup yang bergantung pada malam. Banyak
pekerjaan yang hanya bisa dilakukan ketika malam tiba, bukannya Tuhan juga memberi
waktu yang istimewa di sepertiga malam?
Jalan
memberi perhatian yang berbeda. Jalan membuat dirinya nyaman untuk berlama-lama
dengannya. Jalanan malam memperlihatkan potret kehidupan tanpa drama. Setiap
orang menjadi dirinya yang asli saat malam. Ia tampil apa adanya, penuh makna
dan cerita.
Photo
by Flo Maderebner from Pexels