Rindu


Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami

Apalah arti kehilangan, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?

Di bulan-bulan menuju akhir tahun ini, saya sedang semangat-semangatnya membaca buku fiksi. Rasanya ingin membaca sesuatu yang sweet tapi ga klise. Akhirnya, saya kembali melihat stok buku di kamar dan ternyata sudah kebaca semua. Aduh, masa beli buku sih. Kalau melihat keuangan, tentu tidak mendukung untuk saat ini, sementara semangat membaca saya sedang memberontak, meraung-raung ingin dipenuhi.

Alhasil, saya pun pergi ke perpustakaan kampus untuk mencari bahan bacaan yang ringan tapi menarik.

Di sanalah saya bertemu dengan dua buku karya Tere Liye yang pasti sudah tidak asing lagi bagi kalian yang hobi membaca. Dua buku ini berjudul “Tentang Kamu” dan “Rindu” dua buku yang langsung membuat mata saya berhenti mencari buku lain.

Novel best seller karya Tere Liye ini memang sudah cukup lama terbit. Namun, dari awal saya tahu dan saat melihat judulnya saja saya kurang tertarik untuk membaca lebih lanjut. Saat itu yang ada di pikiran saya, novel ini hanya akan membahas tentang cinta-cintaan atau mungkin rasa kerinduan antara dua insan yang sedang jatuh cinta.

Akibat pikiran sok tahu itu, saya tidak pernah penasaran membaca dua novel tersebut, sampai akhirnya, saya mencoba membaca satu diantaranya. Dan hasilnya, saya tidak pernah menyangka akan se-semangat ini menuliskan reviewnya. Kenapa saya ga coba baca dari dulu sih.

Oiya, akibat rasa semangat yang menggebu-gebu ini, saya menghabiskan waktu membaca dua novel tersebut dalam waktu kurang dari 10 hari. Ini rekor sih, buat saya yang hanya baca buku kalau lagi sempat dan jika mood lagi baik.

Novel pertama yang saya baca yaitu Rindu. Dari Judulnya saja, novel ini kembali memancing pikiran sok tahu saya untuk menerawang dan menyimpulkan jalan cerita yang seakan biasa saja seperti kebayakan novel romansa yang beredar di toko buku. Namun, pikiran saya kembali salah menebak.

Saat membuka halaman pertama, saya dibawa untuk mengikuti jalan hidup sebuah keluarga bahagia dari Kota Makassar. Wah, kota kelahiran saya ini. Boleh lah. Tapi “Rindu”-nya dimana? oke, kita lanjutkan saja dulu.

Novel “Rindu” berlatarkan waktu pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Setting tempatnya berada di sebuah kapal uap besar yang sedang melakukan perjalanan haji yaitu, Kapal Blittar Holland. Di kapal besar inilah semua kisah akan dimulai. Kapal ini memiliki segala fasilitas yang dibutuhkan oleh penumpangnya. Saya sekali lagi bertanya, “Rindu”-nya dimana?

Pada zaman itu, pemerintah Belanda membuka jasa perjalanan kepada rakyat pribumi yang memiliki kekayaan lebih untuk berangkat haji menggunakan kapal uapnya. Penumpangnya pun tentu berasal dari berbagai daerah, termasuk keluarga Daeng Andipati, pengusaha sukses dari Kota Makassar, yang pergi dengan istrinya serta kedua anak perempuannya, Anna dan  Elsa.

Ada juga seorang pelaut tangguh yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan di laut yaitu, Ambo Uleng. Ia justru menaiki kapal ini bukan untuk berangkat Haji. Ia tidak memiliki tujuan apapun selain pergi menjauh dari tanah kelahirannya, yaitu tanah Makassar.

Tidak hanya warga pribumi asli. Seorang keturunan cina yaitu Bonda Upe dan suami juga ikut dalam perjalanan haji ini. Ada pula seorang Ulama tersohor asal Makassar yaitu, Gurutta Ahmad Karaeng yang kehadirannya di kapal menjadi teladan dan panutan seluruh penumpang beserta awak kapal dan kaptennya.

Novel setebal 544 halaman ini sukses membuat hati saya campur aduk. Perasaan sedih, bahagia, jatuh cinta, terharu, merasa bersalah, dan penuh dosa berkumpul menjadi satu. Banyak pesan yang tertuliskan dengan indah. Pesan tersebut terselip di dalam dialog-dialog antar tokoh yang sekali lagi sukses membuat saya merenung, terdiam sebentar, kemudian menghela napas, lalu membayangkan situasi di dalam cerita kemudian lanjut lagi ke halaman selanjutnya.

Seluruh tokohnya berhasil menjadi teladan yang baik dengan kepribadiannya masing-masing serta masalah pelik yang tiada henti menimpa mereka. Ada yang terlihat bahagia namun menyimpan masalah begitu besar. Ada yang ingin pergi sejauh mungkin demi meninggalkan setiap kenangan pahit yang terasa menusuk ke dalam hati.

Ada yang selalu dibayang-bayangi masa lalu hingga lupa jika masa depan masih ada untuk orang-orang yang selalu bersyukur. Ada pula yang selalu memiliki jawaban atas setiap masalah yang menimpa orang lain, namun ternyata tidak kuasa menjawab pertanyaan atas masalahnya sendiri. Semua itu membuat saya tidak ingin berhenti membuka setiap halamannya sampai akhirnya berada di halaman terakhir.

Untuk novel “Rindu” karya Tere Liye ini memang tidak salah jika menjadi novel best seller. Saya yang hanya menjudge novel ini melalui judulnya kembali merasa bersalah sudah menyia-nyiakan waktu untuk tidak membacanya sedini mungkin.

Akibat sensasi yang disajikan novel “Rindu”, saya kembali mencoba membaca novel Tere Liye yang lainnya seperti Tentang Kamu, Moga Bunda di sayang Allah, dan Harga Sebuah Percaya. Hanya itu dulu sih yang sempat saya baca. Kebetulan koleksi untuk Novel karya Tere Liye di perpustakaan kampus baru itu saja.

Bukannya tidak ingin membeli, tapi apalah daya uang saku sebagai mahasiswa, belum ada pemasukan selain dari orang tua. Harus nabung dulu kalau mau beli sesuatu, atau kalau kalian punya koleksi novel Tere Liye yang lain, boleh lah saya di pinjemin. Kali aja kita bisa merasakan sensasi yang sama..

Photo From Pinterest

Komentar

Postingan Populer