Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati (Le dernier jour d’un condamné)
Hari yang indah di bulan Agustus. Sudah tiga hari perkaraku mulai diadili, tiga hari nama dan tindak kejahatanku setiap pagi mengundang kerumunan penonton yang datang menyerbu di bangku-bangku ruang pengadilan, seperti burung-burung gagak mengelilingi bangkai. Tiga hari bayangan gaib para hakim, saksi, pembela, jaksa kerajaan, lewat dan lewat lagi di hadapanku, terkadang menggelikan, terkadang kejam. selalu suram dan tak dapat dihindarkan.
Menjadi hal yang sering terjadi, jika kenyataan tidak seindah yang dibayangkan. Seperti yang terjadi pada saya minggu kemarin. Suatu penundaan untuk melakukan konsultasi judul skripsi membuat saya hampir patah semangat.
Lagi dan lagi, saya kehilangan waktu seminggu penuh untuk mengurusi perihal skripsi. Tidak ingin larut dalam kecewa, saya kembali menuju perpustakaan kampus untuk mengembalikan buku yang sempat saya pinjam dan mencari buku lainnya. Sebenarnya ada beberapa judul buku yang ingin sekali saya baca, namun, karena keuangan yang tidak memadai, saya kembali mencari jalan alternative dengan mencari secara acak buku-buku yang menarik perhatian, dan semua tersedia secara cuma-cuma.
Hari terakhir seorang terpidana mati, oleh Victor Hugo menjadi buku pertama yang saya baca di awal tahun 2020. Karya salah satu penulis pada abad ke-19 ini berisi dua bahasa, satu di antaranya adalah bahasa asli penulis yaitu, bahasa Perancis. Tidak perlu waktu lama menyelesaikan karya Victor Hugo dengan 100 halamannya. Dengan sekali duduk, saya dibuat tidak berhenti untuk membacanya hingga halaman terakhir.
Sekarang semua keperluan untuk menulis telah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya? Tapi apa yang akan kutulis? Terkungkung di antara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apa pun, tanpa kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bisa kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa berpikir mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel dan membentuk persegi keputih-putihan yang merayap perlahan di tembok suram di hadapannya dan seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan suatu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan hukuman, pembunuhan dan kematian!
Tidak ada alasan untuk tidak membaca, dan tidak ada alasan untuk tidak menulis. Kenapa tidak?
Pasti banyak bahan, dan sesingkat apa pun hidupku, pasti masih akan ada sesuatu di dalam, kekhawatiran, ketakutan dan siksaan, yang akan mengisi hidupku ini, dari sekarang hingga akhir, yang akan mengusangkan bulu-bulu pena dan mengeringkan botol tinta. Selain itu, satu-satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku melupakannya.
Ini pertama kalinya saya membaca roman dari Victor Hugo. “Hari terakhir seorang terpidana mati” dengan jelas menggambarkan bagaimana “aku” dalam roman tersebut bertahan hidup untuk nantinya akan segera mati.
Tapi, bukannya setiap yang bernyawa pada akhirnya memang tetap akan mati. Namun, bagaimana jika kita tahu kapan persisnya waktu itu datang. Enam jam lagi, atau satu jam kemudian. Untuk bertobat dan lari dari kematian itu pasti mustahil.
Sementara orang-orang tersayang masih menginginkan kita berada di antara mereka. Namun, tidak dengan "aku". Orang terakhir yang menjadi semangat hidupnya kini juga melupakannya. Lengkap sudah penderitaannya. Di saat-saat terakhir menuju kematiannya, ia masih berharap ada keajaiban. Setidaknya agar pisau algojo itu tidak menggelindingkan kepalanya.
Baiklah! Hadapi kematian dengan gagah, pegang bayangan yang mengerikan ini dengan kedua belah tangan dan perhatikan ia baik-baik dari depan. Kita lihat siapa ia, kita cari tahu apa yang ia inginkan, kita putar ia ke segala arah, kita eja baik-baik teka-teki ini, dan coba kita simak benar-benar, sebelum ia datang menjelang.
Membaca buku ini membuat siapapun akan lebih menghargai waktu yang mereka punya, bahkan jika itu hanya sepersekian detik. Tidak ada yang pernah tahu kapan kematian akan datang, dan ketika waktu itu datang, apa kita mampu bernegosiasi untuk diberikan waktu yang lebih panjang?
Dan untuk apa waktu kamu habiskan? setahun yang lalu lewat begitu saja. Waktu yang terbuang percuma, pikiran yang dibuat untuk memikirkan hal sia-sia, tenaga yang dihabiskan begitu saja pada sesuatu yang tidak bernilai ibadah. Sudah, cukup. Kamu bisa mendapatkan hal yang lebih baik jika memilih untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Kenapa aku tidak mencoba mengatakan kepada diriku sendiri mengenai semua yang kurasa kejam dan asing di dalam keadaan terlantar ini, dimana aku berada sekarang? mengenai perasaan-perasaanku, tidakkah nantinya ia akan menjadi suatu pelajaran yang hebat dan mendalam?
Seperti deretan kata-kata magis. Menulis seperti ini membuat saya merasa lebih baik. Lagipula, tidak ada ruginya. Jika sesuatu tidak dapat saya sampaikan dengan ucapan, menulis menjadi cara saya untuk mengungkapkannya.
Tulisan ini akan menjadi pengingat, jika saya pernah berada pada posisi tertentu dengan berbagai macam gejolak perasaan yang menyertai. Semacam refleksi diri.
Hal sederhana ini mampu membuat setiap harapan dan impian saya tetap hidup. Begitu juga dengan impian kamu dan kabarmu yang masih saja saya tunggu.
Komentar
Posting Komentar