Reklamasi Pantai di Bali dan Makassar oleh Pak Ryan Tans
Tahun ini Makassar Biennale 2023 mengangkat tema abadi maritim. Kegiatan yang berlangsung dari 9 September sampai 30 Oktober ini akan diselenggarakan di Lima lokasi berbeda yaitu, Makassar, Pangkep, Parepare, Labuan Bajo, dan Nabire. Kali ini, saya ingin sedikit berbagi apa yang saya dapatkan saat mengikuti salah satu agenda Makassar Biennale yaitu, Simposium. Pada 10 September kemarin, Simposium yang membahas tentang Pembangunan Pesisir Kota-kota di Indonesia berlangsung dengan sangat menarik. Ada 4 panelis yang mengungkapkan penelitian dan gagasan mereka terkait isu pembangunan yang terjadi di pesisir dan dampak yang muncul akibat pembangunan tersebut.
Moderator telah memperkenalkan ke 4 panelisnya dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang luar biasa. Pertama ada Pak Ryan Tans dengan penelitiannya terhadap munculnya koalisi anti reklamasi, buntut dari pembangunan reklamasi di Bali dan Makassar. Pak Ryan menjelaskan dengan sangat detail. Sebagai pengantar, Pak Ryan menjelaskan bahwa reklamasi adalah proses penimbunan tanah di rawa-rawa atau laut agar bisa membuat tanah ditempat sebelumnya tidak ada tanah.
Dari sudut pandang pemerintah atau perusahaan, reklamasi berpeluang besar dapat membuat tanah baru dan dapat memperluas tanah kota atau produksi agar perkembangan bisa berjalan dan lumayan untuk pendapatan daerah. Di sisi lain untuk masyarakat pesisir, reklamasi membawa banyak kesulitan. Masyarakat pesisir bisa diusir dari kampung mereka, bisa menutupi akses laut, bisa membawa perubahan hubungan, yang dulunya ikan berlimpah jadi mulai berkurang. Nelayan jadi semakin jauh untuk melaut.
Reklamasi sering membawa konflik antar dua pihak. Menurut data yang ditampilkan, banyak titik reklamasi di indonesia, dan titiknya terus bertambah. Reklamasi terus melebar dari sabang sampai merauke. Dalam penelitiannya, ia ingin menjawab pertanyaan bagaimana proses pengembangan koalisi anti reklamasi terjadi.
Ada 3 tahap terjadinya koalisi yaitu:
- Tahap pra koalisi: Sudah ada penolakan, namun belum ada lembaga
- Koalisi terbatas: Lembaga atau komunitas sudah muncul namun belum ada ide alternatif sehingga dukungan juga tidak terlalu banyak.
- Koalisi lebar: Ide alternatif sudah muncul dan sudah mendapatkan banyak dukungan dan merangkul banyak kalangan.
Pak Ryan Tans mengambil contoh di dua proyek reklamasi yaitu, Teluk Benoa, Bali dan CPI, Makassar. Ada dua koalisi atau kelompok gerakan yang muncul di kedua tempat ini. Dua koalisi tersebut terbentuk melalui 3 tahap di atas. Di Bali kita mengenal “For Bali” dan di Makassar ada “Aliansi Selamatkan Pesisir”. Prosesnya telah berlangsung lama dan bertahap. Di Bali unjuk rasa penolakan reklamasi telah ada sejak tahun 2013, namun idenya berbeda-beda, ada yang membawa isu tentang kesehatan lingkungan, dan kehidupan masyarakat pesisir. Saat itu juga belum ada komunitas yang mengkoordinir gerakan. Tidak lama kemudian, “For Bali” muncul dengan 13 alasan penolakan reklamasi. Mayoritasnya fokus pada kesehatan lingkungan, abrasi pantai, hutan bakau, dan terumbu karang.
Tidak banyak yang merespon aksi tersebut. Unjuk rasa hanya belasan orang, sehingga mereka mencari ide alternatif lain. Setelah menurunkan peneliti untuk meneliti Teluk Benoa, mereka menemukan 70 titik suci disana. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi tradisi, budaya dan kepercayaan mereka. Hal itu membuat ribuan masyarakat Bali berunjuk rasa menolak reklamasi. Di Makassar prosesnya hampir sama. “Aliansi Selamatkan Pesisir” mulai menunjukkan ide alternatifnya di tahun 2017 yaitu, penolakan tambang pasir. Isu ini berhasil merangkul kalangan masyarakat, tidak hanya di Makassar, namun juga masyarakat pesisir di kampung nelayan Takalar dan juga di kabupaten-kabupaten lainnya.
Penelitian Pak Ryan Tans menunjukkan proses yang mirip antar dua koalisi anti reklamasi ini. Ia menyatakan bahwa prosesnya sama, namun karakternya berbeda. Jika di Bali ide alternatifnya menjadi Koalisi multi sektor, di Makassar ide alternatifnya menjadi multi lokasi. Reklamasi tentu membawa banyak dampak buruk kepada lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Mungkin, banyak yang tidak tahu sehingga kita semua sudah seharusnya menggaungkan isu ini agar terdengar lebih kencang.
![]() |
Simposium "Pembangunan Pesisir Kota-kota Di Indonesia" |
Komentar
Posting Komentar